Timnas Indonesia (Foto: PSSI)

Catatan Sepak Bola Dr. Adhiwarman: Pragmatisme Versus Idealisme Timnas Sepakbola Indonesia

Sportify.id - Pragmatisme seringkali dipersandingkan dan diperhadapkan dengan idealisme. William James dikenal sebagai tokoh pragmatisme yang menyebutkan bahwa ide menjadi benar selama ia menguntungkan kehidupan ketika memilikinya (Russell, 2002; 1062). 

 

Akar dari pragmatisme James adalah empirisisme radikal yakni paham yang menjunjung pengalaman diperoleh melalui percobaan yang mencakup relasi, fungsi dan fakta sebagai satu kesatuan (Keraf, 1987: 54). 

 

Dengan begitu pragmatisme dipandang sebagai metode untuk mencapai tujuan. Apa yang dituju? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, perlu diidentifikasi mengenai persoalan yang dalam terminologi pragmatisme disebut sebagai realitas objektif  atau keberpengalaman (Bagus, 2005: 877-888). 

 

Dalam perdebatan mengenai timnas Indonesia yang kini didominasi pemain yang berdarah Indonesia dengan karir sepakbola di tanah Eropa dan pusat kemajuan sepakbola lainnya seperti Brazil. Hasilnya cukup bagus. Ditambah dengan prospek pengembangan dan atau peningkatan kualitas  sepak bola timnas Indonesia, maka pilihan atau strategi mencari pemain berdarah Indonesia dari seluruh penjuru dunia, terutama di tanah di Eropa mampu memberikan keuntungan bagi Indonesia. 

 

Dalam konteks inilah pragmatisme dalam bentuk melakukan naturalisasi pemain berdarah Indonesia memiliki kebenarannya. 

 

Keberpengalaman Shin Tae yong dalam mengelola dan mengembangkan timnas Indonesia tentu memenuhi persyaratan realitas objektif untuk mengejar kualifikasi yang dibutuhkan. STy bukan asal meminta pemain untuk dinaturalisasi agar dapat dimainkan di timnas. Keberpengalaman STy menuntun pada pemahaman epistemologis, bahwa dibutuhkan suatu strategi untuk melompatkan kualitas timnas ke level yang dibutuhkan. 

 

Sediaan kualitas pemain yang ada di kompetisi lokal menjadi fakta yang diterima. Ide atau gagasan naturalisasi tidak mempunyai tujuan pada dirinya sendiri, lantaran ia merupakan sarana untuk menguji kebenaran. 

 

Jelas pertandingan yang dilakukan sebelumnya merupakan fakta bahwa gagasan naturalisasi berguna bagi timnas Indonesia. 

Kualitas STy sebagai pelatih kelas dunia telah mengidentifikasi kualitas pemain yang tersedia di kompetisi lokal, untuk kemudian memberanikan diri untuk mengambil cara naturalisasi sebagai pragmatisme demi pencapaian prestasi. 

 

Meminjam penjelasan Sonny Keraf (1987) pengetahuan, termasuk dalam hal ini keberpengalaman sebagai pelatih, STy benar karena mampu membuktikan manfaat dan kegunaan dengan melakukan naturalisasi. STy mampu  menciptakan kenyataan yang dibutuhkan atau yang ditargetkan pada dirinya.

 

Lalu apakah Indonesia melanjutkan strategi naturalisasi pemain berdasarkan Indonesia untuk mengisi starting line-up timnas Indonesia? Tidakkah pasokan pemain timnas berasal dari kompetisi lokal?  

 

Sebagian orang meyakini bahwa strategi jangka panjang pengembangan kualitas timnas ada pada kompetisi lokal. Adakah Indonesia berpengalaman untuk soal ini? 

 

Timnas Indonesia di era 1980-1990-an merupakan bukti tentang kualitas kompetisi lokal. Di saat itu Indonesia, di bawah pelatih Sinyo Aliandoe gagal di fase terakhir menuju Piala Dunia 1986.  Semua anggota timnas adalah pemain yang bermain di Galatama sebutan liga profesional saat itu. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa kompetisi lokal pernah berhasil membentuk timnas yang tangguh. 

 

Pragmatisme seringkali diperhadapkan dengan idealisme.  Kata idealisme berasal dari kata ide yang menjadi kategori sentral dalam sistem epistemologis. Dalam idealisme, kalau merujuk pada kata dasarnya, ide yang berarti rasio sebagai basis primordial mutlak (Bagus, 2005: 302). 

 

Artinya idealisme dibangun dari rasio atau penalaran. Ada banyak macam idealisme dalam pengertian filsafat, tetapi barangkali yang paling cocok adalah idealisme aktual  dari Giovani Gentille (1875-1944). 

 

Bedanya idealisme Gentille dengan Kant adalah pada kemembumiannya. Idealisme Gentille  berada dalam konteks politik yang berujung pada lahir dan eksisnya paham fasisme. 

 

Kembali kepada sepakbola, idealisme aktualnya Gentille menampilkan kecemasan pada masa depan eksistensi kompetisi lokal dengan banyaknya pemain berdarah Indonesia bermain di timnas. 

 

Lalu apa gunanya kompetisi lokal dijalankan?  Yang dibutuhkan adalah mengedepankan objektivitas sembari menangkal bias. 

 

Modalnya adalah pengetahuan ontologis STy pada persepakbolaan Indonesia yang diwakili oleh kompetisi lokal dari berbagai jenjang. Tentu saja kesuksesan pemain hasil proses naturalisasi dapat menimbulkan masalah ketika ukuran objektif dan bias tidak terkendali. 

 

Untungnya STy adalah pelatih kelas dunia yang memiliki kecepatan memahami ontologi sepakbola Indonesia, sehingga kemudian memberanikan diri untuk menggunakan epistemologi nya sebagai pelatih kelas dunia untuk melakukan strategi naturalisasi.

 

Sebagai strategi jangka pendek, naturalisasi pemain berdarah Indonesia dengan kualitas tertentu dapat diterima dan dibenarkan dengan pencapaiannya. 

 

Dalam merawat dan mengembangkan kualitas timnas membutuhkan sediaan pemain dengan kualitas tinggi yang ditempa melalui kompetisi lokal. 

 

Secara faktual, kompetisi lokal masih meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah (PR). Idealnya, timnas diisi oleh pemain naturalisasi yang besar di kompetisi di Eropa atau pun di tempat lain. 

 

Tentu saja mengembangkan kualitas dan penyelenggaraan kompetisi merupakan tugas Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan pengelola liga. Indonesia pernah sukses dengan timnas yang berasal dari kompetisi lokal. 

 

Pengalaman melakukan naturalisasi menambah pilihan untuk mengembangkan timnas. Waktu akan memberikan kabar dan atau kenyataan ke hadapan mahkamah sejarah  persepakbolaan Indonesia. Jika di era 1980-an timnas yang diperkuat oleh pemain dari kompetisi lokal, maka timnas 2024  bukan mustahil meraih prestasi hebat. 

 

Penulis: Dr. Adiwarman, S.Sos., S.H., M.H., Dosen Universitas Indonesia

    Terbaru

    Terkait